Kepulauan Banda

|

Kepulauan Banda atau yang lebih dikenal dengan nama Banda Naira, terletak di propinsi Maluku, sebelah selatan pulau Seram dan di bagian tenggara pulau Ambon. Banda Naira ,adalah suatu gugusan kepulauan yang terbentang di laut Banda.

Taman laut yang indah terhampar di sepanjang laut kepulauan Banda Naira. Sebuah gunung api aktif menjulang tinggi dari kedalaman laut Banda yang dalam dan kaya akan ikan dan biota lautnya.

Penduduk Banda tersebar disemua pulau yang berada dalam gugusan kepulauan Banda Naira, terkecuali dua buah pulau yang tidak berpenghuni, yaitu pulau Karaka dan pulau Manukang. Penduduk Banda merupakan campuran keturunan asli Banda Naira dengan berbagai suku bangsa, seperti Melayu Sumatera, Buton, Bugis, Banten, Arab, Cina, India, Belanda, Portugis, Spanyol dan suku bangsa lainnya yang pernah menyinggahi kepulauan Banda Naira ataupun orang-orang buangan dan para Pekerja yang dipekerjakan sebagai Pekerja di perkebunan pala oleh Penjajah Belanda.

Karena banyaknya campuran suku bangsa di kepulauan Banda Naira, maka struktur bahasa yang digunakan oleh penduduknya tersusun dari berbagai bahasa yang ikut serta dibawa masuk oleh para pendatang yang mendatangi tempat ini pada zaman dahulu. Dialeg Melayu Banda, adalah bahasa sehari-hari yang digunakan oleh penduduk Banda Naira.

Mengunjungi kepulauan Banda Naira, sama dengan memasuki masa lampau ketika masa penjajahan Belanda. Bangunan-bangunan tua khas arsitektur Belanda hingga tanaman-tanaman yang ditanam pada masa penjajahan Belanda dapat dijumapai di Banda Naira.

Wisatawan yang melancong ke kepulauan Banda Naira-pun dapat merasakan aura semangat juang para Pejuang Banda Naira yang menentang penjajahan Belanda, hingga ketekunan dan kesabaran dari Bung Hatta, Bung Sjahrir, Iwa Kusuma Sumantri, dan dr. Tjipto Mangunkusuma dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia dari tanah pengasingan, Banda Naira.

Read More..

Diluncurkan, Dua Buku tentang Sutan Sjahrir

|

Sebagai tokoh pergerakan dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, nama Sutan Sjahrir mungkin tak setenar Bung Karno ataupun Bung Hatta. Meski ia banyak berperan dalam perjuangan kemerdekaan, buku teks ataupun buku sejarah mengenai Sjahrir mungkin masih bisa dihitung dengan jari.

Di tengah arus perjalanan bangsa, perlahan tetapi pasti, Bung Sjahrir, demikian almarhum biasa dipanggil, mulai terlupakan. Melawan situasi inilah, dua buah buku mengenai sosok Perdana Menteri pertama Indonesia ini diluncurkan. Dua buah buku memoar mengenai Sjahrir berjudul Mengenang Sutan Sjahrir dan Sjahrir diluncurkan, Jumat (5/3/2010) di Hotel Santika, Jakarta.

Turut hadir dalam peluncuran kedua buku tersebut sejumlah tokoh, antara lain, Pemimpin Umum Kompas Gramedia Jakob Oetama, wartawan senior yang juga menjadi editor kedua buku ini Rosihan Anwar, penulis Ignas Kleden, budayawan Romo Franz-Magnis Suseno, hingga tokoh-tokoh muda, seperti aktivis Kompak Fadjroel Rahman dan Ketua Kontras Usman Hamid.

Dalam perbincangan khusus bersama Kompas.com, Jakob Oetama menyambut gembira adanya kedua buku mengenai Sjahrir ini. Ia mengatakan, Sjahrir merupakan sosok pejuang yang namanya kurang banyak dikenal oleh generasi muda saat ini. Dengan kedua buku ini diharapkan dapat membangkitkan kembali rasa nasionalisme berbagai elemen masyarakat seperti yang dimiliki oleh Sjahrir.

"Ini sangat positif. Sekarang jadi cukup banyak orang yang ingin tahu. Dibanding dulu, orang hanya kenal dengan Soekarno dan Hatta. Beliau ini (Sjahrir) berbeda dan memiliki kelebihan sendiri. Memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi," ungkapnya.

Kedua buku ini memang secara khusus mengisahkan perjalanan hidup Sjahrir, terutama semenjak ia menempuh pendidikannya di Belanda, perannya dalam sejarah pergerakan bangsa, hingga kehidupannya menjelang akhir hayat.

Seperti dalam buku Mengenang Sjahrir yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, yang merupakan kumpulan tulisan karangan-karangan mengenai sosok Sjahrir. Testimoni dari berbagai tokoh, mulai dari pejuang kemerdekaan seperti Bung Hatta, Adam Malik, dan Sjarifuddin Prawiranegara, hingga tokoh-tokoh nasional lainnya seperti YB Mangunwijaya, Sabam Siagian, dan Maria Hartiningsih. Dengan editor Rosihan Anwar, dalam buku ini, mereka masing-masing mengisahkan pendapatnya dan seperti apa mereka mengenal sosok Sjahrir.

Sementara buku Sjahrir merupakan sebuah biografi utuh yang menceritakan perjalanan Sjahrir dari sisi kemanusiaan. Dengan kata pengantar dari Ignas Kleden dan Rosihan Anwar, buku ini mencoba menceritakan rekam jejak Sjahrir tak hanya dari segi pandangan politik dan perjuangannya dalam kemerdekaan, tetapi juga sisi humanis kehidupan Sjahrir dan lingkungannya. Buku Sjahrir yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas ini juga dilengkapi dengan puluhan foto-foto eksklusif yang menangkap sosok Sjahrir dalam berbagai kegiatannya.

Sambutan positif mengenai peluncuran buku ini juga datang dari budayawan dan rohaniwan Romo Franz Magnis Suseno. Meski tidak banyak mengenal sosok Sjahrir, ia memandang Sjahrir sebagai tokoh pejuang dengan rasa kemanusiaan yang tinggi. Pengajar di STF Driyarkara ini memandang Sjahrir sebagai sosok pemimpin yang tidak haus kekuasaan.

"Kelemahan sekaligus kelebihan Sjahrir adalah dia tidak menggunakan kekuatan dengan menghimpun massa. Dia tidak haus kekuasaan," ujarnya.

Sjahrir, sebut dia, merupakan tokoh pejuang yang sangat memerhatikan kemanusiaan. Di era sekarang ini, ungkapnya, sosok Sjahrir amat menjadi contoh sebagai pemimpin yang tidak mementingkan kepentingan kelompok. "Dia tidak memberi janji-janji politis yang murahan. Terbukti dalam perjalanan politiknya, dia tidak mencari dukungan meski akhirnya dia kalah dalam Pemilu 1955," tuntasnya.

Read More..
 

©2009 Sonegat | Template Blue by TNB